Sabtu, 18 April 2015

perkembangan Peserta Didik


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pertumbuhan (growth), Kematangan (maturation), Belajar (learning), dan Latihan (exercises) serta Keterkaitannya dengan Perkembangan
1.      Pertumbuhan (growth)
Pertumbuhan (growth) merupakan sebuah istilah yang banyak digunakan dalam biologi, sehingga pengertiannya lebih bersifat biologis.
Ada beberapa pendapat tentang definisi dari pertumbuhan, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Menurut C.P. Chaplin (2002) mengartikan bahwa pertumbuhan sebagai satu pertambahan atau kenaikan dalam ukuran dari bagian-bagian tubuh atau dari organisme sebagai suatu keseluruhan.
b.      Menurut A.E. Sinolungan (1997) pertumbuhan menunjuk kepada perubahan kuantutatif yaitu yang dapat dihitung atau dikur, seperti panjang atau berat tubuh.
c.       Menurut Ahmad Thonthowi (1993) pertumbuhan sebagai perubahan jasad yang meningkat dalam ukuran (size) sebagai akibat dari adanya perbanyakan (multiplication) sel-sel.
Berdasarkan pendapat-pendapat tentang definisi pertumbuhan di atas dapat disimpulkan bahwa Pertumbuhan adalah konteks perkembangan merujuk perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu peningkatan dalam ukuran dan struktur, seperti pertumbuhan badan, pertumbuhan kaki, dan organ-organ tubuh lainnya. Jadi, pertumbuhan lebih cenderung kepada pertumbuhan fisik yang bersifat meningkat, menetap, kemudian mengalami kemunduran sejalan dengan bertambahnya usia.
Istilah pertumbuhan dan perkembangan berbeda, pertumbuhan lebih menunjuk pada kemajuan fisik atau pertumbuhan tubuh yang melaju sampai pada suatu titik optimum dan kemudian menurun menuju pada keruntuhannya. Sedangkan perkembangan adalah lebih menunjuk pada kemajuan mental atau perkembangan rohani yang melaju terus sampai akhir hayat.


2.      Kematangan (maturation)
Istilah kematangan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan, maturation sering dilawan dengan immaturation, yang artinya tidak matang. Istilah kematangan juga sering digunakan dalam biologi, yang menunjuk  pada keranuman atau kemasakan.
Ada beberapa pendapat tentang pengertian kematangan, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Menurut Chaplin (2002) kematangan itu sebagai :
a)      Perkembangan, proses mencapai kemasakan atau usia masak
b)      Proses perkembangan, yang dianggap berasal dari keturunan atau merupakan tingkah laku khusus spesies (jenis, rumpun).
b.      Menurut Myers (1996) mengartikan kematangan sebagai “biological growth processes that enable orderly in behavior, relatively  uninfluenced by experience”.
c.       Menurut Zigler dan Stevenson (1993) kematangan adalah “The orderly physiological changes that occur in all species over time and that appear to unfold according to a genetic blueprint”
d.      Menurut Davidoff (1998) kematangan lebih menunjuk pada munculnya pola perilaku tertentu yang bergantung pada pertumbuhan jasmani dan kesiapan susunan saraf.
Berdasarkan pengertian dari beberapa pendapat dapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, kematangan itu merupakan suatu potensi yang dibawa oleh setiap individu sejak lahir, timbul dan bersatu dengan pembawaannya serta turut mengatur pola perkembangan setiap tingkah laku individu. Dengan demikian, kematangan tidak dapat dikategorikan sebagai faktor keturunan atau pembawaan karena kematangan ini merupakan suatu sifat tersendiri yang umum dimiliki oleh setiap individu dalam bentuk dan masa tertentu.
3.      Perubahan
Perkembangan mengandung perubahan-perubahan, tetapi bukan berarti setiap perubahan bermakna perkembangan. Perubahan tidak dapat mempengaruhi suatu proses perkembangan seseorang dengan cara yang sama.
Perubahan perkembangan memiliki tujuan agar dapat memungkinkan orang yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia hidup. Untuk mencapai tujuan ini dapat diperlukan realisasi diri atau yang biasanya disebut dengan “aktualisasi diri” merupakan faktor yang sangat penting. Tujuan ini dapat dianggap sebagai suatu dorongan untuk melakukan suatu tindakan yang tepat, untuk menjadi manusia yang seperti diinginkan baik secara fisik maupun psikis.
4.      Belajar (Learning)
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Menurut Hintzman dalam bukunya The Psychology of Learning and memory berpendapat Belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalamn yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Sedangkan menurut Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Belajar yaitu Perubahan-perubahan dalam perkembangan individu, selain dapat terjadi karena kematangan, juga dapat terjadi karena belajar. Menurut Morgan “Belajar adalah setiap perubahan tingkah laku yang relatif menetap yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman” (M.Ngalim Purwanto, 1993:84).
Berdasarkan beberapa pernyataan dan definisi tentang belajar seperti disajikan di atas, dapat Anda simpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku pada diri individu yang bersifat relatif permanen dan terjadi sebagai hasil pengalaman.
Ada beberapa karakteristik yang terkandung dalam pengertian belajar, yaitu:
a.       Pengertian belajar meliputi proses dan hasil.
b.      Sebagai suatu proses, belajar merupakan suatu upaya disengaja yang berlangsung pada diri individu yang terjadi melalui pengalaman.
c.       Proses belajar menghasilkan perubahan tingkah laku pada diri individu. Perubahan-perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar meliputi berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikhis, seperti perubahan mengenai pengetahuan, pemahaman, kebiasaan, keterampilan, sikap, dsb.
d.      Perubahan-perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar sifatnya relative manetap atau permanen.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses belajar, diantaranya:
a.       Faktor dari dalam diri individu (Internal)
a)      Faktor Jasmaniah
b)      Faktor Kesehatan
Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganagu. Badan yang kurang sehat akan mengakibatkan kurangnya semangat dalam belajar pusing atau mengantuk.
c)      Faktor Cacat Tubuh
Faktor cacat tubuh sangat mempengaruhi belajar seseorang misalnya buta, tuli, bisu, atau pincang. Upaya yang harus kita tempuh untuk membantu dengan cara memberikan alat khusus untuk mengatasi kecacatannya. Selain itu mereka juga di sekolahkan dilembaga pendidikan yang khusus. Guru harus membangkitkan semangat belajar dan rasa percaya diri kepada mereka dengan pendekatan-pendekan khusus.
d)     Faktor Psikologis
1)      Intelegensi, merupakan kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan situasi yang baru dengan cepat dan efektif. Orang yang mempunyai intelegensi yang tinggi lebih mudah belajar dari pada yang tingkat intelegensi yang rendah.
2)      Motif, merupakan daya penggerak atau pendorong untuk berbuat
3)      Minat, merupakan kecenderngaan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenag beberapa kegiatan. Minat itu selalu diikuti dengan perasaan dengan yang akahirnya memperoleh kepuasan.
4)      Emosi, faktor emosi sangat mempengaruhi balajar anak. Emosi yang mendalam membutuhkan situasi yang cukup tenang.
5)      Bakat, merupakan kemampuan untuk belajar misalnya seseorang yang memeiliki bakat mengajar akan lebih mudah memahami teori-teori yang berhubungan cara mengajar atau ilmu memgajar dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki bakar kematangan.
6)      Kesiapan, merupakan kesdiaan untuk memberi respon.
e)      Faktor Kelelahan
1)      Faktor kelelahan jasmani, yaitu tampak pada lemah lunglainya badan dan berkecenderungan tubuh, misalnya karena kelaparan
2)      Faktor kelelahan rohani dapat dilihat dengan Adanya kebosanan sehingga minataa untuk menghasilkan sesuatu hilang.
b.      Faktor-Faktor Eksternal
a)      Faktor Keluarga
Faktor keluarga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses belajar anak karena lebih banyak berinteraksi didalam keluarga daripada di sekolah. Keluaraga merupakan lembaga pendidikan yang pertamaa dan utama. Yang termasuk faktor keluarag adalah cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah tangga, dan keadaan ekonomi keluarga.
b)      Faktor Sekolah
Faktor-faktor sekolah yang dapat  mempengaruhi proses belajar anak adalah kurikulum, keadan gedung, waktu sekolah, alat plajaran, metode mengajar, hubungan antara guru dengan siswa, dan hubungan antaraa siswa dengan siswa.
5.      Latihan (exercises)
Latihan adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas belajar. Latihan membantu peserta didik dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya, guna meningkatkan keterampilan, kecakapan, dan sikap yang diperlukan oleh pendidikan dalam usaha mencapai tujuannya.
Empat istilah konsep perkembangan yakni, pertumbuhan (growth),kematangan (maturtion), belajar (learning), dan Latihan (exercise). Secara konseptual empat istialah ini mempunyai persamaan dan perbedaan, persamaannya adalah : pada keempat istilah tersebut terjadi perubahan (changes) sedangkan  letak  perbedaannya terdapat pada perubahan pada pertumbuhan yang bersifat kuantitatif, sedangkan pada kematangan, belajar, dan latihan lebih bersifat kualitatif.        Perubahan pada pertumbuhan dan kematangan lebih bersifat alamiah sedangkan perubahan pada belajar dan latihan lebih bersifat disengaja dan bertujuan.
Perubahan-perubahan yang terjadi baik sebagai pertumbuhan, kematangan, belajar, maupun latihan itulah yang disebut: perkembangan (development). Perubahan ini dapat terjadi pada setiap periode perkembangan sepanjang organisme hidup. Oleh karena itu perkembangan dapat didefinisikan sebagai perubahan sepanjang waktu (
change over time) baik sebagai pertumbuhan, kematangan, belajar, maupun sbg hasil latihan. Dengan demikian psikologi perkembangan dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perubahan perilaku organism sepanjang hayat.
B.     Definisi Perkembangan (development) serta Implikasinya dalam Pendidikan
Kehidupan individu dimulai sejak masa konsepsi (conception period), yaitu saat bertemunya sel yang berasal dari ayah (sperma) dengan sel telur yang berasal dari ibu (ovum). Dalam proses pertumbuhan/perkembangannya, individu mengalami interaksi (saling pengaruh mempengaruhi) antara kemampuan dasar/pembawaan dengan lingkungan (proses belajar) dan kematangan.
Para ahli psikologi dan pendidikan, mengakui bahwa perkembangan individu sejak dalam kandungan sampai meninggal dunia, mengalami proses menurut hukum waktu yang satu sama lain tidak sama cepat atau lambatnya , fase-fase kepekaanya dan sebagainya, akan tetapi bagaimanapun juga perkembangan itu merupakan proses yang bersifat integral sebagai manusia seutuhnya. Sebenarnya banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu tersebut tapi dari sekian banyak faktor itu dapat dikelompokan kedalam 3 faktor besar yaitu pembawaan, lingkungan, dan kematangan.
Para ahli psikologi dan ilmu pendidikan, tidak ada kesatuan pendapat dalam memberikan pengertian atau definisi tentang perkembangan. Menurut ahli biologi kata “perkembangan” dimaksudkan untuk menunjukan perubahan-perubahan dalam bentuk/bagian tubuh dan integrasi berbagai bagiannya kedalam suatu keadaan fungsional bila pertumbuhan itu berlangsung. (E. Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, 1984:48)
Perkembangan pada seorang anak adalah terjadinya perubahan yang bersifat terus-menerus dari keadaan sederhana ke keadaan yang lebih lengkap, lebih kompleks, dan berdiferensiasi. Perkembangan yang dimaksud adalah perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kamatangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik maupun psikis.
Para ahli yang beraliran nativisme berpendapat bahwa perkembangan individu semata-mata tergantung pada factor dasar atau pembawaan. Tokoh utama aliran natavisme yang terkenal adalah Scopenhauer. (Bandi, 2009)
1.      Fase Perkembangan
a.       Prenatal (mulai masa konsepsi s/d 9 bulan)
b.      Infancy (Lahir s/d 10 atau 14 hari)
c.       Babyhood (2 minggu s/d 2 tahun)
d.      Childhood (2 s/d 11 tahun)
e.       Adolesence/puberty (11 s/d 21 tahun)
a)      Pre adult (11 – 13 tahun)
b)      Early adult (16 – 17 tahun)
c)      Late adult (17 – 24 tahun)
2.      Fase Perkembangan (Berdasarkan usia sekolah)
a.       Usia Prasekolah (0 – 6 tahun)
b.      Usia Sekolah Dasar (6 – 12 tahun)
c.       Usia Sekolah Menengah (12 – 18 tahun)
d.      Usia Mahasiswa (18 – 24 tahun)
Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya. Perkembangan tersebut dimulai sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika individu memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas tahun, individu dimaksud sudah dapat disebut sebagai peserta didik yang akan berhubungan dengan proses pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan. Cara pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan perkembangan anak, yakni memiliki karakteristik sebagai berikut :
1)      Programnya disusun secara fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak;
2)      Tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak aktivitas;
3)      Melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai proses perkembangannya (Amin Budiamin, dkk., 2009:84).
Faktor-faktor Penentu Perkembangan Individu dan Implikasinya terhadap Pendidikan
     Faktor-faktor penentu perkembangan individu merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian para ahli psikologi. Hasil studi psikologi sebagai jawaban terhadap permasalahan tersebut dapat di bedakan menjadi tiga kelompok teori, yaitu Nativisme, Empirisme dan Konvergensi.

1)      Nativisme
Schoupenhauer adalah salah seorang tokoh teori Nativisme. Penganut teori Nativisme berasumsi bahwa setiap individu dilahirkan ke dunia membawa factor-faktor turunan (heredity) yang dibawa sejak lahir yang berasal dari orang tuanya. Faktor turunan yang dibawa sejak lahir yang berasal dari orang tuanya itu dikenal pula dengan istilah dasar (nature). Bagi penganut teori Nativisme bahwa dasar (nature) ini dipandang sebagai satu-satunya penentu perkembangan individu. Penganut teori Nativisme umumnya mempertahankan konsepsinya dengan menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-anaknya. Contoh: apabila ayahnya terampil melukis, maka anak-anaknya pun diyakini akan terampil melukis; jika orang tuanya pandai dalam bidang sains, maka anak-anaknya pun diyakini akan memiliki kepandaian dalam bidang sains; dsb.
Teori Nativisme memberikan implikasi yang tidak kondusif terhadap pendidikan. Teori Nativisme tidak memberikan kemungkinan bagi pendidik dalam upaya mengubah kepribadian peserta didik. Berdasarkan hal itu, peranan pendidikan atau sekolah sedikit sekali dapat dipertimbangkan untuk dapat mengubah perkembangan peserta didik. Teori demikian dipandang sebagai teori yang pesimistis terhadap upaya-upaya pendidikan untuk dapat mengubah atau turut menentukan perkembangan individu. Teori Nativisme tidak dapat dipertahankan kebenarannya.Teori Nativisme tidaklah dapat kita diterima, baik sebagai asumsi dalam ilmu pendidikan maupun dalam praktik pendidikan. Sebab, jika teori Nativisme kita terima sebagai suatu asumsi, jika kita menerima sebagai sesuatu kebenaran bahwa perkembangan individu semata-mata tergantung pada dasar, maka konsekuensinya bahwa sekolah sepantasnya dibubarkan saja. Para orang tua, para guru dan siapapun tidak perlu melakukan pendidikan, sebab pendidikan dipandang tidak akan berfungsi untuk dapat mengubah keadaan anak, anak akan tetap sesuai dasar yang dimilikinya. Namun demikian, hal tersebut bertentangan dengan realitas yang sesungguhnya, karena terbukti bahwa sejak dulu hingga sekarang para orang tua dan para guru, baik di rumah maupun di sekolah, mereka mendidik anak-anak/siswa-siswanya karena pendidikan itu terbukti merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan harus dilakukan dalam rangka membantu anak/siswa agar berkembang ke arah yang di harapkan. Dengan demikian, teori Nativisme tidak dapat dipertahankan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga tidak perlu diadopsi secara keseluruhannya.
2)      Empirisme
John Locke dan J.B. Watson adalah tokoh teori Empirisme. Sebagai penganut Empirisme Locke dan Watson menolak asumsi Nativisme. Penganut Empirisme berasumsi bahwa setiap anak dilahirkan ke dunia dalam keadaan bersih ibarat papan tulis yang belum ditulisi. Individu lahir ke dunia tidak membawa ide-ide bawaan. Penganut Empirisme meyakini bahwa setelah kelahirannya, faktor penentu perkembangan individu ditentukan oleh factor lingkungan/pengalamannya. Faktor penentu perkembangan individu yang diyakini oleh penganut empirisme dikenal pula dengan istilah ajar (nurture). Perkembangan individu tergantung kepada hasil belajarnya sedangkan faktor penentu utama dalam belajar sepenuhnya berasal dari lingkungan. Dengan demikian, mereka tidak percaya kepada faktor turunan atau dasar (nature) yang dibawa sejak lahir sebagai penentu perkembangan individu. Sebaliknya, mereka meyakini pengalaman/lingkungan atau ajar (nurture) itulah satu-satunya factor penentu perkembangan individu.
Implikasi teori Empirisme terhadap pendidikan yakni memberikan kemungkinan sepenuhnya bagi pendidik untuk dapat membentuk kepribadian peserta didik; tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ada di pihak pendidik. Teori Empirisme memberikan implikasi yang bersifat optimistis terhadap pendidikan untuk dapat sepenuhnya mempengaruhi atau menentukan perkembangan individu seperti apa yang diharapkan pendidik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat Anda pahami bahwa para penganut teori Empirisme begitu optimis dengan pendidikan sebagai upaya yang dapat diandalkan dalam rangka membentuk individu/siswa. Sebagaimana dikemukakan Sumadi Suryabrata (1990:187-188) bahwa “Jika sekiranya konsepsi Empirisme ini memang benar, maka kita akan dapat menciptakan manusia ideal sebagaiman kita cita-citakan asalkan kita dapat menyediakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk itu. Tetapi kenyataan membuktikan hal yang berbeda daripada yang kita gambarkan itu”.

3)      Teori Konvergensi
Tokoh teori Konvergensi antara lain William Stern dan Robert J.Havighurst. Mereka berasumsi bahwa perkembangan individu ditentukan oleh dasar (nature) atau faktor turunan (heredity) yang dibawa sejak lahir maupun oleh factor ajar (nurture) atau lingkungan/pengalaman. Misalnya, Havighurst menyatakan bahwa "karakteristik tugas perkembangan pada masa bayi dan anak kecil adalah biososial. Sebab, perkembangan anak adalah berdasarkan kematangan yang berangsur-angsur dari organ tubuhnya (biologis), dan berhasil tidaknya dalam tugas perkembangan itu tergantung kepada lingkungan sosialnya. Penelitian yang dilakukan beberapa ahli juga menunjukkan bahwa perkembangan individu dipengaruhi oleh interaksi dengan cara yang kompleks dari faktor hereditas dan factor lingkungan.
Implikasi teori Konvergensi terhadap pendidikan yakni memberikan kemungkinan bagi pendidik untuk dapat membantu perkembangan individu sesuai dengan apa yang diharapkan, namun demikian pelaksanaannya harus tetap memperhatikan faktor-faktor hereditas peserta didik: kematangan, bakat, kemampuan, keadaan mental,dsb. Kiranya teori konvergensi inilah yang cocok kita terapkan dalam praktek pendidikan.
C.       Prinsip-Prinsip Perkembangan serta Implikasinya dalam Pendidikan
1.      Menurut William Stern
William Stern merupakan pencetus teori konvergensi yang bertumpu pada teori sebelumnya, yaitu teori empirisme (dipengaruhi pengalaman)  dan teori empirisme (dipengaruhi lingkungan) yang kurang realistis. Karena kenyataannya keturunan yang baik saja tanpa adanya pengaruh lingkungan pendidikan yang baik dan maksimal tidak akan dapat membina kepribadian yang ideal. Lebih tepatnya teori konvergensi ini menyatakan kecerdasan  itu bukan hanya dipengaruhi oleh pengalaman saja tetapi juga bisa dipengharuhi oleh faktor lingkungan pendidik sekitar. Teori konvergensi ini juga mengatakan bahwa walaupun manusia berasal dari pembawaan yang sama, namun dipengaruhi oleh lingkungan.
Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa anak yang normal, menurut bakat dan pembawaannya memiliki sifat-sifat untuk berbicara. Namun demikian, untuk berbicara tersebut mereka mendengar kata-kata dan kalimat bahasa dalam pergaulan dengan alam sekitarnya. Seorang anak keturunan Inggris yang baru lahir dan dibesarkan di Indonesia, serta dipelihara oleh orang Indonesia dan dalam pemeliharaan sehari-harinya menggunakan bahasa Indonesia, tidak mungkin bisa berbahasa Inggris, karena pendidikannya termasuk pergaulan sehari-harinya, tidak memberikan kesempatan untuk berbicara bahasa Inggris.
Seorang anak yang lahir dalam keadaan tuli, walaupun alat-alat bicaranya cukup baik dan menurut pembawaannya manusia itu adalah makhluk yang dapat berbicara, karena kesempatan berbicara untuk belajar terganggu (alat pendengarannya rusak), ia tidak mungkin dapat berbicara dan mengenal bahasa.
2.      Menurut J. L. Moreno
Moreno memiliki kedudukan yang khas dalam sejarah psikologi perkembangan. Dia menolak adanya pandangan bahwa pandangan anak-anak itu semata-mata tergantung  pada kenyataan pada diri mereka yang masih lemah dan pengaruh lingkungan. Sebaliknya menurut Moreno, bahwa ada kesempatan bagi setiap anak  untuk memilih sendiri jalan perkembangannya. Dengan demikian, dasar perkembangan manusia itu berada pada diri masing-masing ketika dalam usia anak-anak. Atas dasar pandangan ini, kata Moreno, maka pendidikan punya kemungkinan untuk dilaksanakan.
3.      Menurut Jean Piaget
Piaget adalah orang yang paling banyak memperhatikan perkembangan anak-anak hingga usia 7 tahun. Ia memandang bahwa pada setiap anak terdapat dua faktor, yaitu pengenalan dan perasaan. Keduanya berguna untuk penyesuaian ruhani terhadap lingkungan. Katanya pula bahwa dalam ruhani anak terdapat fungsi pikiran. Akan tetapi, kecakapan berpikir secara logis tidak dibawa anak secara lahir. Kecakapan berpikir baru timbul setelah ia mencapai taraf perkembangan tertentu.
4.      Menurut Montessori
Menurut Montessori setiap fase perkembangan itu mempunyai arti biologis. Prinsip montessori terkenal dengan sebutan masa peka, menurutnya masa peka merupakan masa pertumbuhan ketika suatu fungsi jiwa mudah sekali dipengaruhi dan dikembangkan. Masa ini hanya datang sekali seumur hidup, sehingga masa ini harus digunakan sebaik-baiknya maka fungsi-fungsi jiwa akan mengalami kelainan/abnormal, dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
Masa peka antara anak yang satu dengan anak yang lainnya tidah mudah untuk di ketahui, karena hal ini memerlukan penelitian yang seksama melalui berbagai percobaan. Misalnya, untuk menentukan apakah seorang anak sudah mengalami masa peka bagi pembuatan kerajinan tangan tertentu dan lain-lain. Suatu gejala kepekaan seharusnya diselidiki dengan percobaan, yaitu apakah anak tersebut sudah tampak terarah minatnya pada suatu fungsi tersebut apa belum.
5.      Menurut J. B. Watson dan Pavlov
Keduanya menyatakan bahwa perkembangan itu pada hakikatnya merupakan kumpulan dari sejumlah refleks yang karena sudah terlatih sedemikian rupa hingga akhirnya membentuk tingkah laku seseorang yang bersifat konstan, atau bisa diartikan sebagai gerak spontan yang bersifat otomatis. Inilah yang menurutnya disebut dengan refleks wajar yang masih murni, yang asli dibawa sejak lahir. Setelah mendapat latihan dan pembiasaan, lalu disebut dengan refleks bersyarat. Jadi, menurutnya, perkembangan merupakan proses terbentuknya refleks wajar menjadi refleks bersyarat. (Baharuddin,2010:74)
6.      Prinsip Kesatuan Organisme
Prinsip ini berbunyi bahwa anak merupakan suatu kesatuan fisik dan psikis dan satu kesatuan dari komponen tersebut. Antara fisik dan psikis satu sama lain saling mempengaruhi. Setiap komponen tidak berkembang sendiri-sendiri tetapi dipengaruhi terhadap komponen yang lain. Jadi dalam proses pembelajaran hendaknya melibatkan semua komponen agar hasil belajar yang didapat bisa maksimal. Jika salah satu komponen terganggu maka komponen yang lain akan terganggu pula. Contohnya, jika anak sakit maka proses pembelajaran juga akan terganggu, apa yang disampaikan guru tidak akan terserap dengan baik oleh memori anak.
7.      Prinsip Predistinasi
Predistinasi berarti nasib atau takdir. Setiap manusia percaya terhadap nasib atau takdir, meskipun terdapat perbedaan penafsiran mengenai takdir ini sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Tetapi pada umumnya semua umat beragama mengakui bahwa segala yang terjadi pada diri mereka tidak lepas dari takdir sang maha kuasa.
Berdasarkan prinsip ini berarti seberapa sempurnanya pembawaan, bakat dan sifat-sifat keturunan, serta betapapun baiknya lingkungan dan sarana pendidikan anak, tidak akan berlangsung perkembangan yang diharapkan jika tidak ada izin dari maha kuasa.
8.      Prinsip Tempo dan irama (ritme) Perkembangan
Setiap anak mempunyai laju kecepatan yang berbeda-beda, yakni ada yang cepat, sedang, dan ada pula yang lambat. Tempo perkembangan seorang anak dapat dipercepat tetapi tidak dapat dipaksakan. Misalnya, orang tua yang mengajari anaknya untuk menulis, membaca, dan berhitung padahal anak tersebut belum sekolah. Dan ketika anaknya sekolah tidak diberi kesempatan untuk bermain-main karena senantiasa harus belajar. Hal seperti ini dapat mempercepat perkembangan akal anak tetapi tindakan orang tua tersebut tidaklah tetap.
Selain memiliki tempo, perkembangan juga berlangsung sesuai dengan ritmenya. Prinsip ritme ini berlaku bagi setiap manusia. Proses perkembangan tidak selalu dialami perlahan-lahan dengan urutan yang teratur, melainkan melalui gelombang-gelombang besar dan kecil yang silih berganti. Ada kalanya laju perkembangan berjalan cepat tetapi pada waktu berikutnya sedikitpun tidak tampak kemajuan. Sehubungan dengan perkembangan cepat atau lambat ini, anak dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu:
a.       Anak yang perkembangannya berlangsung mendatar, dan maju secara berangsur-angsur.
b.      Anak yang cepat sekali berkembang pada waktu kecilnya, tetapi sesudah besar perkembangannya semakin berkurang/lambat.
c.       Anak yang lambat perkembangannya pada waktu kecil tetapi semakin besar semakin cepat kemajuannya.
Tempo dan  irama perkembangan anak ditentukan dari kemampuan dasar mereka. Semakin tinggi kemampuan dasar mereka maka semakin cepat pula tempo dan irama perkembangannya. Jadi, peran lingkungan sangat dibutuhkan disini agar dapat memberi pengaruh yang tepat untuk tahap perkembangan anak.
9.      Prinsip Kontinuitas
Menurut prinsip kontinuitas perkembangan berlangsung secara terus menerus dan berkseinambungan. Perkembnagna periode awal pada diri anak dapat mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Apabila anak dapat menguasai kemampuannya dengan sempurna pada periode awal maka pada periode berikutnya akan dapat dikuasai. Dan jika pada periode sebelumnya tidak tercapai dengan sempurna maka pada periode selanjutnya bisa jadi anak sulit untuk menguasai perkembangan berikutnya. Bahkan ada kemungkinan tidak diperoleh sama sekali. Oleh karena itu pendidik harus menghindari terjadinya hal-hal yang dapat mengganggu tercapainya kemampuan perkembangan anak.
10.  Prinsip Kesamaan Pola
Prinsip ini mengemukakan bahwa perkembangan manusia mengikuti pola perkembangan umum yang sama. Maksud prinsip ini adalah manusia mengiktui pola perkembangan yang sama. Misalnya, manusia pada umur 6-7 tahun pada umumnya telah masuk sekolah. Prinsip ini mempunyai beberapa implikasi dalam melaksanakan pendidikan, yaitu:
a.       Pendidikan dapat dilaksanakan secara klasikal terhadap anak yang berumur sama dalam situasi normal.
b.      Dapat dilaksanakan keseragaman pendidikan untuk anak tingkat tertentu.
c.       Dapat disediakan alat-alat tertentu yang dapat digunakan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas mengenai prinsip-prinsip perkembangan penyusun dapat menyimpulkan bahwa  perkembangan manusia itu,  timbul dari kepribadian seseorang yang bisa memilah-milah, perkembangan tersebut tidak bisa di pandang satu sisi melainkan dua sisi  yaitu jasmani dan rohani yang mana perkembangan itu merupakan kumpulan  reflek yang perlu di bimbing dan dipengaruhi dari lingkungannya  sehingga akhirnya membentuk manusia yang mempunyai tingkah laku yang baik.
bella-perkembanganpesertadidik.blogspot.com